Apa sebenarnya yang dipikirkan Bangsa Inggris dan Belanda (Eropa) terhadap Bangsa Indonesia saat mereka menjajah dan menguasai Nusantara? Bagaimana cara mereka menaklukkan Indonesia? Selain “kekuatan” dan teknologi militer (saat itu) ada satu hal yang mendasar dan penting yang dipakai untuk sukses menjajah. Setidaknya hal ini yang dapat ditelusuri di catatan Thomas Stamford Raffles dalam bukunya The History of Java.

“Dengan korupsi dan menyuap para pemimpin mereka, juga dengan menyebarkan siasat pecah belah, pemerintah Belanda berhasil memecah kerajaan yang sudah goyah pada periode kedatangan mereka,” tulis Raffles. Merupakan kesombongan nasional, menurut mantan Letnan Gubernur Pulau Jawa dan sekitarnya dari East India Company atau EIC (Perusahaan Hindia Timur milik Inggris) pada 1811-1816 ini, jika sebuah pasukan tidak menggunakan kekuatan senjata, tetapi menggunakan intrik dan tipu muslihat, seperti yang digunakan oleh Belanda untuk mendapatkan kekuasaan di Jawa.

Padahal, masih menurut Raffles, negara Indonesia (Jawa setidaknya, dalam Buku The History of Java), khususnya bagian pedalaman, secara alamiah sangat kuat, penuh dengan jurang dan benteng, dengan strategi peperangan bertahan, yang mungkin model terbagus yang mereka miliki. “Jika semua tenaga dari seluruh bangsa bersatu di bawah satu orang pemimpin, dengan pengalaman yang sekarang mereka ketahui tentang taktik Bangsa Eropa, maka bisa dipahami menjadi tak terkalahkan dalam serangan terbuka apapun, baik yang dilakukan oleh pasukan Bangsa Eropa maupun Asiatik,” ujar Raffles.   

Hal ini terbukti dengan terpecahnya Kerajaan Mataram melalui Perjanjian Giyanti pada 1755. Sejarawan Denys Lombard dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya – Batas-Batas Pembaratan mengatakan bahwa di bagian tengah Pulau Jawa para bangsawan sejak lama tercabik-cabik dalam beberapa “perang suksesi”. Sementara bangsawan-bangsawan Jawa itu bertikai, agen-agen VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie atau Dutch East India Company, Perkumpulan Perusahaan Hindia Timur milik Belanda– kerap disebut Kompeni) melakukan manuver dan intrik, dari Batavia dan Semarang di mana telah ditempatkan seorang “Gubernur Pantai Timur”. Pertikaian diselesaikan dengan Perjanjian Giyanti yang mengesahkan pembagian Mataram menjadi dua kerajaan kecil: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Penulis-penulis sejarah kolonial membicarakan hal ini sebagai penerapan lihai strategi lama Divide et impera (Verdeel en heers— membagi atau memecah dan menaklukan atau memerintah). Dan, memang tak lama kemudian menyusul pemecahan lainnya, yaitu didirikannya Kerajaan Mangkunegaran yang mengambil wilayah Kasunanan pada 1757. Lalu, pada 1813 Kesultanan Yogyakarta dipecah (lagi) dengan munculnya Kerajaan Pakualaman (pada masa penjajahan Inggris– rajanya dinobatkan oleh Raffles). “Sehingga Mataram tak mampu melawan dengan efektif gerak maju Belanda,” kata Lombard. Sebelumnya, Belanda sudah menguasai Cirebon pada 1705 dan daerah pesisir lainnya pada 1743.    

Di daerah timur Indonesia, Makassar, Belanda juga menerapkan strategi pecah belah dan taklukkan ini. Pada Perang Makassar (1966-1969), VOC menyerang Kerajaan Gowa dengan dibantu oleh Kerajaan Bone (tetangga Gowa sesama kerajaan Bugis), sebagian Orang-Orang Ambon (dikomandani oleh Kapten Jonker), Kesultanan Buton, dan pasukan Ternate. Akhirnya Gowa jatuh, dan perjanjian Bongaya yang sangat merugikan Makassar diteken pada 18 November 1668, seperti tertera dalam Buku Nusantara Sejarah Indonesia oleh Bernard H.M. Vlekke. VOC “secara resmi” menjajah Makassar.

Belanda akhirnya mendapatkan monopoli dagang penuh di Pelabuhan Makassar. Semua orang Eropa non Belanda harus keluar dari kota itu. Plus, pembatasan atas lingkungan kepentingan Makassar hanya pada kota itu saja dan sekitarnya. Bahkan Belanda boleh punya Benteng Rotterdam (yang dinamai menurut tempat kelahiran Cornelis Speelman, komandan kekuatan Kompeni saat menyerbu Gowa) di Makassar.

Di Sumatera, masih menurut Vlekke, VOC mengipas-ngipasi pemberontakkan terhadap pemerintahan Kesultanan Aceh di kalangan para raja di pantai barat Sumatera. Akhirnya, menghasilkan Perjanjian Painan pada 6 Juli 1663 yang membuat daerah Indrapura, Tiku, dan Padang bernaung di bawah Kompeni. VOC berjanji menjamin kemerdekaan penuh daerah-daerah itu dari Aceh, dengan imbalan monopoli dagang absolut.     

Di kota pelabuhan dagang penting lainnya, Banten, yang masuk Kesultanan Banten, pada 1750 terjadi pemberontakkan besar. Menurut Lombard, seperti biasa, Belanda mendukung salah satu pihak yang bersaing, yaitu Ratu Fatima dalam melawan pemberotakkan Kyai Tapa. Ini membuat Banten terpecah, hingga mudah ditaklukkan.

“Dengan korupsi dan menyuap para pemimpin, juga dengan menyebarkan siasat pecah belah,” apakah ini juga berlangsung di zaman kiwari Indonesia dalam bentuk dan pelaku yang lain? Semoga jauh panggang dari api.

Ardi Bramantyo

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini