Bagi Ahmad Bahruddin, mata Air Senjoyo adalah hidup dan mati dirinya. Puluhan tahun lalu, air irigasi di kampungnya Kalibening, Kota Salatiga terlihat jernih dan melimpah. Namun, lima tahun terakhir debitnya berkurang, bahkan kala kemarau dilakukan sistem buka tutup irigasi untuk mengaliri sawah. Air ini mengalir dari sumber air Senjoyo, Desa Tegalwaton, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah.

Menurut Bahrudddin, kala itu, ketika kekurangan air, petani setiap hari berkelahi berebut air untuk irigasi. Lantas, dibentuklah Serikat Paguyuban Petani Qoriyah Thoyibah (SPPQT). Selain melakukan konservasi air, SPPQT juga melakukan pertanian berkelanjutan.

Sejak zaman Belanda, mata air Senjoyo menjadi sumber utama PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kota Salatiga. Kualitasnya masih sangat baik, air menjalani pengolahan cukup singkat dan langsung disalurkan ke konsumen. Selain untuk irigasi, air digunakan pula untuk berbagai keperluan penting sehari-hari masyarakat.

Mata Air Senjoyo adalah salah satu sumber air baku utama PDAM Kota Salatiga. Mata air ini terletak di kaki Gunung Merbabu dengan wilayah resapan air (recharge area) membentang ke arah lereng tenggara Gunung Merbabu. Memiliki variasi tata guna lahan berupa permukiman, kebun rakyat, sawah, tegalan, dan ladang di bagian hulu.

Debit air di mata air Senjoyo di 1995 sebesar 1.115 liter perdetik. Sementara pada 2008, debit air di tempat yang sama turun menjadi 838 liter perdetik. Terjadi penurunan sekitar 25 persen dalam kurun waktu 13 tahun. Di musim kemarau, penurunan bisa mencapai 40 persen.

“Penyebabnya perubahan tata guna lahan di sekitar mata air dan daerah tangkapan, terjadi dalam kurun waktu 2003 hingga 2011,” kata Samino, Direktur PDAM Kota Salatiga. Menurut Samino, perubahan tata guna lahan berakibat terhentinya penyerapan air di mata air Senjoyo. Perubahan tata guna lahan pada 2003 sampai 2011 menyebabkan fungsi resapan turun 20 persen.

Sumur resapan di Desa Patemon.

Menghadapi masalah itu, PDAM Salatiga menggandeng Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thoyyibah dan Indonesia Urban Water, Sanitation and Hygiene Penyehatan Lingkungan Untuk Semua (IUWASH PLUS) dalam proyek konservasi air. Caranya dengan membangun sumur resapan dan reboisasi di sekitar mata air dan di beberapa daerah tangkapan air di lereng Merbabu yang airnya mengalir ke mata air Senjoyo.

“Cara yang dilakukan untuk konservasi mata air Senjoyo yakni melakukan penanaman air melalui sumur resapan di daerah tangkapan air,” kata Bahruddin yang ditemui pada Maret 2018.

Teknologi sumur resapan ini sebenarnya sudah lama dikenal dan sederhana pembuatannya. Menurut Asep Mulyana, Senior Raw Special dari IUWASH PLUS, sumur resapan dibuat dengan menggali tanah selebar 2×2 meter dengan kedalaman dua meter. Dinding dibuat dari bata yang disemen, sementara bagian bawahnya tetap tanah. Lalu, diisi kerikil setebal 30 centimeter dan di atasnya diberi ijuk setebal 20-30 centimeter. Setelah itu, dibuat saluran agar air hujan mudah masuk– di mana sebelum masuk ke sumur resapan dibuat bak kontrol untuk mengendapkan lumpur yang ikut terbawa air hujan.

Syarat teknis lainnya, kata Asep, yaitu tanah yang mempunyai sifat porus, berada pada lahan tanah datar. Sumur resapan jangan dibuat pada lahan di lereng karena berpotensi mengakibatkan longsor. Adapun perawatan sumur resapan cukup mudah, yakni menjaga jangan sampai lubang masuknya air (inlet) dipenuhi sampah atau lumpur– perlu dibersihkan sebulan sekali. Untuk ijuk, harus dibersihkan setahun sekali saat musim kemarau.

“Pembangunan sumur resapan menjadi salah satu metode buatan termudah untuk meningkatkan sumber air tanah, mampu menampung air hujan agar air meresap ke lapisan akuifer yang dapat menyimpan air,” ujar Asep.

Ia melanjutkan, air yang terkumpul di lapisan ini dapat digunakan selama musim kemarau untuk mengisi sumur dangkal atau meningkatkan aliran mata air. Untuk mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, sumur resapan memberikan sebuah solusi yang sederhana, tepat, dan mudah untuk diterapkan.

Saat ini ada 854 titik sumur resapan di daerah sekitar Desa Patemon, Kecamatan Tengaran, Kabupaten Semarang, salah satu daerah resapan, tangkapan air, mata air Senjoyo. Dengan jumlah resapan air sebanyak itu, air yang bisa diserap saat hujan turun kini mencapai 68,32 liter perdetik. Namun, kata Samino, meskipun jumlah sumur resapan banyak dan terus bertambah, ia berharap masyarakat peduli terhadap ketahanan stok air yang berada di dalam tanah. “Kebutuhan air terus meningkat dan kita harus peduli dengan hal ini, salah satunya menjaga ketersediaan air dengan membuat sumur resapan,” kata Samino.

Ikan-ikan yang hidup di kolam sumber air Senjoyo.

“Ternyata tidak sampai tiga tahun sejak konservasi sipil teknis melalui sumur resapan, dampaknya sudah bisa dirasakan, sumber mata air melimpah lagi,” kata Bahruddin.

Dalam hitungan Bahruddin, dengan debit naik 300 liter perdetik, maka setahun ada 10 miliar liter air yang terselamatkan dari sumur resapan di daerah Desa Patemon dan sekitarnya. Jika dihargai 10 rupiah perliter, maka ada 100 miliar rupiah uang diselamatkan dari sumur resapan, ini belum termasuk menghitung jasa lingkungan dan humus yang diselamatkan.

“Jika banyak daerah menerapkan sumur resapan untuk mengamankan air hujan dan humusnya, maka persoalan ketersediaan air akan cepat selesai dan humus yang baik, membantu pertanian lebih subur,” kata Bahruddin.

Ia menambahkan, ke depan penting pembedayaan desa dengan bangun sumur resapan. Alokasi dana desa dimanfaatkan untuk konservasi air dan lingkungan. Desa juga perlu membuat peraturan desa tentang lingkungan dan konservasi.

Tommy Apriando, Ardi Bramantyo        

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini