Ngeri ngeri sedap kritikus Film

Sejak mula, membangun kisah para penderes nira kelapa di Ketanda Banyumas dalam sebuah karya film, selalu ada kecemasan kecemasan yang nempel terus di kepala para pembuatnya. Kuatir kalau film dokumenter dengan pendekatan cinema verite yang mereka produksi tidak pas di hati para penderes nira kelapa.

Wajar, sebab seringkali para pembuat film dikritik habis sama para penonton, apalagi “jaman now” ini kritik atas karya film lagi ramai ramainya dibahas. Sebut saja film film fiksi yang mengangkat kisah dari novel. Mulai novel sastra Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari sampai Bumi Manusia yang ditulis Pram.

Untuk menonton film bioskop, siapapun mesti membeli tiket, meluangkan waktu dan pastinya menempuh jarak dari rumah ke tempat film diputar. Beginilah usaha usaha penonton film yang patut diacungi jempol. Tapi, bagaimana kalau filmnya mengecewakan(?). Ternyata filmnya tidak memuaskan. Atau, penonton merasa “dibegoin”, karena filmnya setelah ditonton tidak seheboh sinopsis yang dipublikasikan marketing. Biasanya, karena ini “jaman now”, maka para penonton langsung keriting jempolnya. Mention kemana mana pendapatnya setelah nonton. Boleh jadi rugi bandar, investornya film, kalau penonton kecewa, atau laris manis tanjung kimpul, kalau komentar penonton mengetik “mantab jiwa” “keren” “aku suka aku suka”.

Beruntung, film “Celengan Bambu Seribu” dibuat dijalur dokumenter cinema veritee. Selain melibatkan komunitas masyarakat sebagai lakon dalam film, dan penayangan perdana-nya dilokasi syuting film, yang seru adalah film ini ditonton perdana oleh para pemainnya sendiri. Paling tidak, setelah usai ditonton, pembuat film bisa langsung bertanya ke penonton lewat diskusi kecil diakhir acara nonton layar tancap. Jikalau, filmnya tidak memuaskan penonton, pembuat film bisa langsung menghentikan rencana mengedarkan hasil syutingannya, atau yang paling parah merevisi film dengan penambahan penambahan syuting ulang agar film memuaskan penonton sekaligus juga lakon-nya. Tekor di ongkos juga makan waktu lagi, barangkali hanya dua langkah ini yang bisa pilih. Tidak ada yang enak.

Alternative Layar Tancap

Ini-lah yang menarik saat acara nonton bareng film layar tancap “Celengan Bambu Seribu” di halaman sekretariat Koperasi Argo Mulyo Jati, hari Jum’at malam, 8 Juni 2018 lalu. Acara nonton bareng yang dibungkus undangan buka puasa bersama ini tampak meriah. Masyarakat desa Ketanda Banyumas yang rata rata bekerja sebagai petani penderes nira kelapa memadati lokasi sampai ke jalan desa. Sorak sorai penonton jadi pemandangan yang sering tampak sepanjang film diputar. Tawa dan tepuk tangan masyarakat menghangatkan suasana nonton, begitu melihat para pemain muncul di layar tancap. Durasi 20 menit berlalu, film selesai dan masyarakat masih belum beranjak dari tempatnya.

Sungkowo, bintang utama film dokumenter ini mendapat kesempatan pertama menyampaikan komentarnya setelah film usai. “Ya kaya kuweh, sing terjadi nang kene” (ya begitu, yang terjadi di desa ini) ujar penderes yang jatuh dari pohon kelapa ini. Penonton sontak sahut menyahut menyambut komentar Sungkowo yang sedang menunggu pencairan santunan keselamatan kerja di kartu penderesnya . “Cair durung kuweh” (sudah cair belum – santunan dari kartu jaminan keselamatan kerja program pemerintah) sahut penonton setengah bersamaan. “Ya durung, uwis arep setahun ikih” (ya belum cair, sudah hampir setahun ini kartu penderes di klaim ke pemerintah) tegas Sungkowo sambil terkekeh.

Berikutnya, Niko Hermawan, juru kamera film sekaligus manajer koperasi diminta menyampaikan pendapatnya. Pemuda desa Ketanda ini bercerita tentang manfaat celengan bambu seribu sebagai tabungan untuk keperluan keperluan mendesak warga, seperti ongkos berobat sampai keperluan sekolah anak anak para penderes nira kelapa.

Persepsi masyarakat

Setelah Niko, para tamu undangan diberi kesempatan menyampaikan komentar. Kepala Desa Ketanda menyambut baik potret warganya yang terekam dalam film. Lalu, tamu undangan dari Komuntias Budaya di Purwokerto juga diberi kesempatan menyampaikan tanggapannya, dua orang tamu menyatakan bangga dengan masyarakat desa Ketanda yang masih menjaga nilai nilai keluhuran budaya nenek moyang seperti gerakan menabung di celengan bambu seribu.

Suasana makin hangat saat Sam Edi diminta menanggapi kisahnya yang di film menyatakan berhenti jadi pengepul (tengkulak) gula kelapa sejak diajak masuk ke desa Ketanda Banyumas. Aktivis koperasi ini juga berterima kasih pada warga penderes yang bisa menerima dirinya meskipun saat itu predikatnya adalah pengepul gula kelapa.

Terakhir, para pembuat film diminta menanggapi kenapa membuat film dokumenter celengan bambu seribu, kebetulan sekali Sigih Purwito, Fian Dji, Ateng Setyawan dan Raul Akamsi hadir mewakili para kerabat kerja pembuat film. “Saya terinspirasi dari tulisan tulisan lokal, nasional dan jurnal internasional tentang nasib para penderes yang tidak diperhatikan pemerintah, meskipun gula kelapa dari Banyumas adalah pemasok gula kelapa terbesar di Indonesia, dan Indonesia adalah penyedia kebutuhan gula kelapa terbesar di dunia” ucap Raul Akamsi, produser film celengan bambu seribu menjelaskan pertanyaan Vera, host acara nobar layar tancap.

Hasil survey acak dilokasi pemutaran film, didapat dari pertanyaan yang diajukan ke para penonton, 100 persen masyarakat penderes nira kelapa di desa Ketanda Banyumas yang menonton merasa terwakili kisahnya dalam film “Celengan Bambu Seribu”. Paling tidak, film ini sudah lolos screening oleh masyarakat penderes nira kelapa sendiri.

Amrul Hakim

Anggota Koperasi Argo Mulyo Jati

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini